Romadhan berasal dari bahasa Arab (ر م ض ن) yang berarti sangat panas atau kering
kerontang. Memang, bulan ramadhan itu sebelumnya hanya dikenal oleh
orang-orang Arab, sehingga lebih populer di tanah Arab. Memang, bangsa
Arab dikenal panas dan kering, sejak dulu hingga sekarang. Hanya saja,
saat ini sudah mulai ada rebboisasi, sehingga mulai terlihat ijo royo-royo
disepanjang jalan. Hampir dipastikan negeri Arab yang dikenal panas,
gersang, dan tandus mulai berubah seiring dengan majunya tehnologi
modern.
Asal kalimat Romadhan adalah (رم ض ), kemudian ditambah hurf Alif dan Nun (الألف والنون ) yang berarti (sangat) panas. Di dalam kaidah bahasa Arab, jika sebuah kalimat di akhiri dengan ‘(الألف والنون ) bisa berarti sangat. Seperti, الرحمن berarti sangat penyayang, غضبان yang berarti (sangat marah), جوعان yang berarti (sangat lapar), dan عطشان yang berarti (sangat haus). Di dalam percakapan, jika orang Arab merasa sangat lapar, ia hanya mengucapkan’’ جوعان ‘’.
Bangsa Arab pada waktu itu mengikuti penghitungan hari Babylonia (Irak sekarang). Bangsa Babylonia yang budayanya pernah sangat dominan di utara Jazirah Arab menggunakan luni-solar calendar (penghitungan
tahun berdasarkan bulan dan matahari sekaligus). Bulan ke Sembilan
(ramadhan) selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat. Sejak
pagi hingga petang, batu-batu gunung dan pasir gurun terpanggang oleh
segatan matahari musim panas yang waktu siangnya lebih panjang dari pada
waktu malamnya. Di malam hari panas di bebatuan dan pasir sedikir reda,
tapi sebelum dingin betul sudah berjumpa dengan pagi hari. Demikian
terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi
akumulasi panas yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan
Ramadhan, bulan dengan panas yang menghanguskan.
Saat
ini masih bisa dirasakan, ketika bulan puasa masuk musim panas, terasa
sekali panjanngya waktu berbuasa. Disebagian daerah ada yang
melaksanakan puasa hingga 16 jam. Sungguh, ini sangat melelahkan bagi
mereka yang sedang berpuasa. Bahkan, diberbagai daerah panas, siang
terasa lebih panjang dari pada malamnya. Berbeda dengan kondisi daerah
Asia tenggara, seperti Indonesia, Brunai, Malaysia, dan Pilipina.
Masih
terkait dengan epistimologi Ramdhan, setelah umat Islam mengembangkan
kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari
kalender berbasis matahari, bulan Ramadhan tak lagi selalu bertepatan
dengan musim panas. Orang lebih memahami ‘panas’nya Ramadhan secara
metaphoric (kiasan). Karena di hari-hari Ramadhan orang
berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. Atau, diharapkan
dengan ibadah-ibadah Ramadhan maka dosa-dosa terdahulu menjadi hangus
terbakar dan seusai Ramadhan orang yang berpuasa tak lagi berdosa.[1]
Yang
membedakan bulan Romadhan dengan bulan lainnya yaitu kewajiban
melakukan berpuasa. Dimana kewajiban puasa ini sudah menjadi tradisi
orang-orang terdahulu (para nabi dan utusan). Sedangkan tujuan ahir (al-Ghoyah)
Allah SWT memerintahkan puasa ialah agar meraih derajat paling tinggi
(taqwa) (Q.S al-Baqarah (2:183). Karakteristik orang-orang bertaqwa
ialah melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya tanpa mengeluh,
dan berusaha sekuat tenaga menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan puasa
adalah salah satu proses menuju makom ke-taqwaan. Adakalanya yang sukses, dan adakalanya yang masih tahap pertama.
Memang
tidak dipungkiri, hampir setiap bulan Nabi Saw tidak pernah
meninggalkan puasa sunnah, akan tetapi tidak ada puasa yang dilakukan
sebulan penuh, kecuali puasa bulan Romadhan. Nabi Saw benar-benar
menjalan puasa dengan sebaik-baiknya, entah wajiab (ramadhan) atau
sunnah. Beliau-lah yang paling taqwa, karena beliau benar-benar melalui
proses dan tahap yang berliku, sehinga mencapai derajat orang yang
sempurna ketaqwaanya kepada-Nya.
Puasa Romadhan ditetapkan pada tahun kedua hijriyah,[2] dan hukumnya wajib bagi setiap orang muslim, baligh, berakal, serta mampu (kuat) untuk melakukan puasa.[3]
Sedangkan pahala ibadah puasa, secara khusus Allah sendiri yang akan
membalasnya. Sebagimana keterangan hadis Nabi yang berbunyi’’ semua amal ibadah anak Adam untuknya, kecuali puasa hanya untukku, dan aku sendiri yang akan membalasnya’’[4].
Puasa
merupakan ibadah yang bertujuan mengekang nafsu manusia dari segala
keseneangan dan kelezatan duniawi. Orang baru dikatakan ber-pusa, jika
telah mampu mengekang segala nafsu (kesenangan-kesenangan) dirinya.
Seperti mengekang panca indera dari ke-senangan dan kenikmatan duniwi).
Dan semua semua itu dilakukan, karena semata-mata taat dan tunduk
kepada-Nya, serta mengikuti apa yang di-anjurkan oleh Nabi Saw. Siang
hari menahan diri dari perbuatan maksiat, dan memasuki malam hari
menghidupkannya dengan qiyam (sholat malam), membaca al-Qur’an, serta
merenungi kebesaran-Nya. Jika manusia yang menyatakan dirinya beriman
kepada-Nya, melaksanakan puasa bulan suci ramadhan. Akan tetapi masih
menodahi lisan dengan berbicara kotor, ngarasi, gossip, menfitnah, ghibah, namimah, angkuh, sombong. Kemudian prilaku (tindakan) masih sering menyakitkan tetangga, kerabat, serta mitra kerjanya. Maka, orang ini termasuk merugi.
Ternyata,
tidak sedikit politisi yang mengumbar pernyataan yang tidak seharusnya
dikeluarkan. Tidak sedikit juga para pedagang yang suka ngutil (ngentit)
dalam istilah agama disebut dengan ‘’riba’’. Padahal, menurut
Nabi sekecil-kecilnya dosa riba ialah bagaikan seorang anak lelaki
menikahi ibunya sendiri. Stasion telivisi juga tidak sungkan-sngkan
menodahi bulan sacral ini dengan tayangan gossip nasioanal, sementara
tayangan itu disuguhkan pada pemirsa yang sedang menunaikan ibadah
puasa. Suatu keitika Nabi naik mimbar di masjid Nabawi, ketika kaki
kanan beliau menaiki tangga pertama, beliau mengucap ‘’amin’’. Setelah turun dari mimbar, Nabi ditanya oleh para sahabat. Wahai Nabi, kenapa engaku mengucapkan ‘’amiin’’, padahal tidak ada satupun orang yang berdo’a.
Siapakah gerangan, yang berdo’a ketika engkau sedang menaiki tangga pertama? Nabi menjawab;’’ ketika aku menaiki tangga pertama, tiba-tiba jibril datang seraya berdo’a yang artinya:’’ celaka sekali mereka yang mendapatkan bulan suci ramadhan, akan tetapi ia tidak mendapatkan pengampunan’’
(H.R al-Hakim). Inilah yang perlu direnugi, memasuki bulan suci
ramadhan, ternyata masih banyak orang-orang yang mengaku islam, akan
tetapi mereka masih suka menodai agamanya sendiri, bahkan menodai
kesucian bulan sacral ramadhan.
[1] . Abdul Adzim Irsad. Membumikan Tahun Hijiriyah ( Masih Bentuk Naskah)
[2] . Al-Zuhaili, Muhammad, Dr, 1993. Al-Islam fi al-Madi wa al-Hadir ( Darul Qolam-Beirut) hlm 65
[3] . Al-Bagho, Mustofa Dr, 1992. Al-Tadhib Fi Adillati Matan al-Ghoyah wa al-Taqrib. Dar Ibn Katsir- Beirut) hlm 102.
[4] . H.R Bukhori dan Muslim.
0 komentar:
Posting Komentar